Disederhanakannya denominasi (pecahan) mata uang menjadi
lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi
nilai mata uang tersebut, itulah yang dimaksud dengan Redenominasi. Di
mana secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga
daya beli masyarakat tidak berubah
Saat ini pemerintah tengah gencar melakukan sosialisasi rencana
Redenominasi Rupiah ini yakni dengan menghilangkan tiga digit angka nol,
misalnya dari Rp 1000 menjadi Rp 1, di mana Rp 1 tersebut nilainya
tetap sama dengan Rp 1000 sebelum diredenominasi.
Pemerintah membagi beberapa tahapan dalam mewujudkan Redenominasi Rupiah tersebut, yakni :
- Tahun 2011 – 2012 adalah tahapan sosialisasi.
- Tahun 2013 – 2015 adalah masa transisi.
- Tahun 2016 – 2018 tahapan penarikan uang lama.
- Tahun 2019 – 2022 tulisan baru pada Rupiah baru dihapus.
Rencananya Redenominasi Rupiah ini ditargetkan berlaku secara penuh
pada tahun 2022 nanti, di mana dalam masa transisi akan digunakan 2
(dua) jenis mata uang Rupiah yaitu Rupiah lama dan Rupiah baru. Maka
selama masa transisi, masyarakat bisa memilih mau membayar barang dengan
mata uang Rupiah lama atau mata uang Rupiah baru. Terkait rencana ini,
pemerintah juga tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang
Redenominasi Uang yang saat ini masih menuai pro dan kontra, baik dari
kalangan DPR maupun masyarakat.
Redenominasi Rupiah sebenarnya sederhana oleh karena hanya
menghilangkan tiga angka nol yang bertujuan menyederhanakan penulisan,
pencatatan, transaksi dan penyebutan kedepannya, tanpa mengurangi nilai
uang tersebut. Yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah, bila memang hal
tersebut sederhana dan tidak berpengaruh terhadap perekonomian, kenapa
sampai harus menimbulkan pro dan kontra?
Salah satu sebabnya adalah akibat trauma masa lalu dimana pernah
suatu ketika ada kejadian pemotongan nilai uang (Sanering) pada tahun
1959-1966. Kondisi hyper-inflasi saat itu yang menyebabkan pemerintah
mengambil tindakan Sanering dimana nilai uang dari Rp 500 dipotong
menjadi Rp 50 dan uang Rp 1000 dipotong menjadi Rp 100.
Padahal antara Sanering Rupiah dan Redenominasi Rupiah adalah sangat
berbeda, karena Sanering Rupiah adalah pemotongan daya beli masyarakat
melalui pemotongan nilai uang, sementara harga-harga barang tetap,
sehingga daya beli masyarakat pun menurun.
Antara pemotongan nilai mata uang (Sanering) dan penyederhanaan
penulisan mata uang (Redenominasi), tampaknya tidak akan mudah untuk
bisa dipahami masyarakat Indonesia yang jumlah mencapai 240 juta jiwa
dengan latar belakang berbeda-beda.
Menurut para ahli ekonomi, dampak Redenominasi yang paling berbahaya
adalah efek psikologis yang bisa mengubah dinamika pasar. Kesederhanaan
sebuah nilai mata uang bisa membuat beberapa pihak menaikkan harga
barang oleh karena terkesan murah. Contoh sederhananya, sebelum
Redenominasi harga satu piring Nasi Padang adalah Rp 10.000. Setelah
Redenominasi harganya berubah menjadi Rp 10 saja. Oleh karena Rp 10 itu
terkesan kecil, maka dinaikkanlah harganya oleh penjualnya menjadi Rp
20, bahkan Rp 25, sebab secara psikologis hal ini terkesan enteng.
Meski secara teori, Redenominasi tidak akan memberikan efek negatif
terhadap perekonomian. Nanum dalam tataran praktis, pelaku ekonomi
adalah manusia yang tindakannya tidak sepenuhnya bersifat rasional
karena adanya pengaruh emosi sehingga respon terhadap kebijakan
Redenominasi ini tidak bisa kita asumsikan 100% bersifat rasional.
Ketakutan akan adanya kemungkinan inflasi akan menyebabkan orang akan
cenderung memegang barang, terutama yang nilainya tahan terhadap
inflasi. Sebagai contoh adalah emas. Tentu saja hal ini bisa berdampak
buruk terhadap laju pertumbuhan ekonomi karena berpotensi mengurangi
konsumsi. Apabila terjadi penukaran Rupiah ke mata uang lain yang lebih
kuat, maka akan terjadi penurunan nilai Rupiah terhadap mata uang lain.
Dampak lainnya yang perlu diperhatikan dengan cermat adalah adanya
potensi pembulatan harga ke atas dengan alasan untuk mempermudah
transaksi. Harga barang yang dahulu Rp 1.700,- akan menjadi Rp 1.7,-.
Karena alasan yang telah disebutkan di atas, harganya akan dibulatkan
menjadi Rp 2,-. Tentu saja secara luas, praktik ini akan mempertinggi
tingkat inflasi.
Zimbabwe adalah contoh negara yang gagal dengan kebijakan
Redenominasi yang ditetapkan pada Agustus 2010 lalu dengan mengubah uang
10 miliar dolar Zimbabwe menjadi 1 dolar Zimbabwe atau menghilangkan 10
angka nol. Selain Zimbabwe, Negara yang juga gagal melakukan
Redenominasi adalah Korea Utara, Ghana, Brasil dan Nigeria. Mayoritas,
kegagalan Redenominasi itu disebabkan pemerintah gagal mengendalikan
laju inflasi. Sementara, sisanya, pemerintah tidak siap mencetak uang
baru (contoh Korea Utara). Korea Utara kehabisan won baru setelah
melakukan Redenominasi atas won.
Menyadari akan resiko tersebut, pemerintah pun menyiapkan waktu
sepuluh tahun untuk mewujudkan rencana Redenominasi ini. Hal ini
mencontoh Turki yang sukses dengan Redenominasi mata uang ‘Lira’nya.
Turki memulai Redenominasi Lira setelah persipan selam kurang lebih
tujuh tahun. Sejak 1 Januari 2005, pada awal tahun anggaran, Turki
melakukan Redenominasi terhadap lira. Redenominasi dilakukan di awal
tahun anggaran dengan tujuan agar semua catatan pembukuan keuangan
negara dan perusahaan langsung menggunakan mata uang baru dengan angka
nominal yang lebih kecil.
Setelah Redenominasi, semua mata uang lama dikonversikan ke mata uang
baru. Jika nama mata uang lama adalah lira Turki dengan simbol ‘TL’,
maka mata uang baru diberi kode ‘YTL’ yang artinya uang baru lira
Turki. Huruf Y adalah singkatan dari yeni dalam bahasa Turki, yang
artinya baru. Turki melakukan Redenominasi lewat beberapa tahap. Tahap
pertama, mata uang TL dan YTL tetap beredar secara simultan selama
setahun. Setelah setahun, mata uang TL ditarik. Waktu setahun ini
bertujuan agar warga memiliki waktu leluasa menggantikan TL ke YTL.
Pada tahap kedua, setelah beberapa tahun, mata uang YTL dikembalikan
menjadi TL. Dengan kata lain, penggunaan TL dengan angka nominal baru
dipulihkan. Untuk membantu pengenalan mata uang baru dan untuk
menghindari kebingungan dalam proses penggunaan YTL dari TL, dua mata
uang dengan daya beli serupa itu dicetak dalam warna dan desain serupa.
Misalnya, desain dan warga mata uang 1 YTL sama dengan 1.000.000 TL.
Kesimpulannya, rencana Redenominasi Rupiah oleh pemerintah yang
bertujuan demi efisensi dan kepraktisan dimana diharapkan dapat memacu
pertumbuhan ekonomi, harus mendapatkan dukungan dari semua pihak dan
dilakukan secara bertahap dengan tidak tergesa-gesa. Selanjutnya langkah
sosialisasi yang matang dengan memperhatikan tingkat inflasi. Yang
perlu juga diperhatikan dan dijaga adalah nilai tukar yang stabil,
penurunan suku bunga, pertumbuhan berkelanjutan, Produk Domestik Bruto,
dan cadangan devisa yang kuat. Semoga Redenominasi Rupiah bisa positif
bukannya negatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar