Ketika Uang Rp.10.000 Menjadi Rp.10

Jumat, Februari 22, 2013 |

Disederhanakannya denominasi (pecahan) mata uang menjadi lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut, itulah yang dimaksud dengan Redenominasi. Di mana secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah







Saat ini pemerintah tengah gencar melakukan sosialisasi rencana Redenominasi Rupiah ini yakni dengan menghilangkan tiga digit angka nol, misalnya dari Rp 1000 menjadi Rp 1, di mana Rp 1 tersebut nilainya tetap sama dengan Rp 1000 sebelum diredenominasi.
Pemerintah membagi beberapa tahapan dalam mewujudkan Redenominasi Rupiah tersebut, yakni :
- Tahun 2011 – 2012 adalah tahapan sosialisasi.
- Tahun 2013 – 2015 adalah masa transisi.
- Tahun 2016 – 2018 tahapan penarikan uang lama.
- Tahun 2019 – 2022 tulisan baru pada Rupiah baru dihapus.
Rencananya Redenominasi Rupiah ini ditargetkan berlaku secara penuh pada tahun 2022 nanti, di mana dalam masa transisi akan digunakan 2 (dua) jenis mata uang Rupiah yaitu Rupiah lama dan Rupiah baru. Maka selama masa transisi, masyarakat bisa memilih mau membayar barang dengan mata uang Rupiah lama atau mata uang Rupiah baru. Terkait rencana ini, pemerintah juga tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Redenominasi Uang yang saat ini masih menuai pro dan kontra, baik dari kalangan DPR maupun masyarakat.
Redenominasi Rupiah sebenarnya sederhana oleh karena hanya menghilangkan tiga angka nol yang bertujuan menyederhanakan penulisan, pencatatan, transaksi dan penyebutan kedepannya, tanpa mengurangi nilai uang tersebut. Yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah, bila memang hal tersebut sederhana dan tidak berpengaruh terhadap perekonomian, kenapa sampai harus menimbulkan pro dan kontra?
Salah satu sebabnya adalah akibat trauma masa lalu dimana pernah suatu ketika ada kejadian pemotongan nilai uang (Sanering) pada tahun 1959-1966. Kondisi hyper-inflasi saat itu yang menyebabkan pemerintah mengambil tindakan Sanering dimana nilai uang dari Rp 500 dipotong menjadi Rp 50 dan uang Rp 1000 dipotong menjadi Rp 100.
Padahal antara Sanering Rupiah dan Redenominasi Rupiah adalah sangat berbeda, karena Sanering Rupiah adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang, sementara harga-harga barang tetap, sehingga daya beli masyarakat pun menurun.
Antara pemotongan nilai mata uang (Sanering) dan penyederhanaan penulisan mata uang (Redenominasi), tampaknya tidak akan mudah untuk bisa dipahami masyarakat Indonesia yang jumlah mencapai 240 juta jiwa dengan latar belakang berbeda-beda.
Menurut para ahli ekonomi, dampak Redenominasi yang paling berbahaya adalah efek psikologis yang bisa mengubah dinamika pasar. Kesederhanaan sebuah nilai mata uang bisa membuat beberapa pihak menaikkan harga barang oleh karena terkesan murah. Contoh sederhananya, sebelum Redenominasi harga satu piring Nasi Padang adalah Rp 10.000. Setelah Redenominasi harganya berubah menjadi Rp 10 saja. Oleh karena Rp 10 itu terkesan kecil, maka dinaikkanlah harganya oleh penjualnya menjadi Rp 20, bahkan Rp 25, sebab secara psikologis hal ini terkesan enteng.
Meski secara teori, Redenominasi tidak akan memberikan efek negatif terhadap perekonomian. Nanum dalam tataran praktis, pelaku ekonomi adalah manusia yang tindakannya tidak sepenuhnya bersifat rasional karena adanya pengaruh emosi sehingga respon terhadap kebijakan Redenominasi ini tidak bisa kita asumsikan 100% bersifat rasional. Ketakutan akan adanya kemungkinan inflasi akan menyebabkan orang akan cenderung memegang barang, terutama yang nilainya tahan terhadap inflasi. Sebagai contoh adalah emas. Tentu saja hal ini bisa berdampak buruk terhadap laju pertumbuhan ekonomi karena berpotensi mengurangi konsumsi. Apabila terjadi penukaran Rupiah ke mata uang lain yang lebih kuat, maka akan terjadi penurunan nilai Rupiah terhadap mata uang lain.
Dampak lainnya yang perlu diperhatikan dengan cermat adalah adanya potensi pembulatan harga ke atas dengan alasan untuk mempermudah transaksi. Harga barang yang dahulu Rp 1.700,- akan menjadi Rp 1.7,-. Karena alasan yang telah disebutkan di atas, harganya akan dibulatkan menjadi Rp 2,-. Tentu saja secara luas, praktik ini akan mempertinggi tingkat inflasi.
Zimbabwe adalah contoh negara yang gagal dengan kebijakan Redenominasi yang ditetapkan pada Agustus 2010 lalu dengan mengubah uang 10 miliar dolar Zimbabwe menjadi 1 dolar Zimbabwe atau menghilangkan 10 angka nol.  Selain Zimbabwe, Negara yang juga gagal melakukan Redenominasi adalah Korea Utara, Ghana, Brasil  dan Nigeria. Mayoritas, kegagalan Redenominasi itu disebabkan pemerintah gagal mengendalikan laju inflasi. Sementara, sisanya, pemerintah tidak siap mencetak uang baru (contoh Korea Utara). Korea Utara kehabisan won baru setelah melakukan Redenominasi atas won.
Menyadari akan resiko tersebut, pemerintah pun menyiapkan waktu sepuluh tahun untuk mewujudkan rencana Redenominasi ini. Hal ini mencontoh Turki yang sukses dengan Redenominasi mata uang ‘Lira’nya.  Turki memulai Redenominasi Lira setelah persipan selam kurang lebih tujuh tahun. Sejak 1 Januari 2005, pada awal tahun anggaran, Turki melakukan Redenominasi terhadap lira. Redenominasi dilakukan di awal tahun anggaran dengan tujuan agar semua catatan pembukuan keuangan negara dan perusahaan langsung menggunakan mata uang baru dengan angka nominal yang lebih kecil.
Setelah Redenominasi, semua mata uang lama dikonversikan ke mata uang baru. Jika nama mata uang lama adalah lira Turki dengan simbol ‘TL’, maka mata uang baru diberi kode  ‘YTL’  yang artinya uang baru lira Turki. Huruf Y adalah singkatan dari yeni dalam bahasa Turki, yang artinya baru. Turki melakukan Redenominasi lewat beberapa tahap. Tahap pertama, mata uang TL dan YTL tetap beredar secara simultan selama setahun. Setelah setahun, mata uang TL ditarik. Waktu setahun ini bertujuan agar warga memiliki waktu leluasa menggantikan TL ke YTL.
Pada tahap kedua, setelah beberapa tahun, mata uang YTL dikembalikan menjadi TL. Dengan kata lain, penggunaan TL dengan angka nominal baru dipulihkan. Untuk membantu pengenalan mata uang baru dan untuk menghindari kebingungan dalam proses penggunaan YTL dari TL, dua mata uang dengan daya beli serupa itu dicetak dalam warna dan desain serupa. Misalnya, desain dan warga mata uang 1 YTL sama dengan 1.000.000 TL.
Kesimpulannya, rencana Redenominasi Rupiah oleh pemerintah yang bertujuan demi efisensi dan kepraktisan dimana diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi, harus mendapatkan dukungan dari semua pihak dan dilakukan secara bertahap dengan tidak tergesa-gesa. Selanjutnya langkah sosialisasi yang matang dengan memperhatikan tingkat inflasi. Yang perlu juga diperhatikan dan dijaga adalah nilai tukar yang stabil, penurunan suku bunga, pertumbuhan berkelanjutan, Produk Domestik Bruto, dan cadangan devisa yang kuat. Semoga Redenominasi Rupiah bisa positif bukannya negatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar